Perjalanan Hugh Herr: dari Patah Kaki hingga membuat Kaki Sendiri

Buat apa sih belajar robotika?

Pertanyaan semacam ini sudah cukup sering saya dengar. Banyak yang bertanya-tanya, apa sih gunanya ilmu robotika? Wajar memang, karena selama ini robotika lebih identik dengan permainan saja, seperti kompetisi line follower atau kontes robot sepakbola. Di negara berkembang seperti Indonesia, apa iya ilmu robotika itu ada gunanya? Mungkin, kisah orang yang satu ini akan membantu kita menjawabnya.

Saya bertemu pertama kali dengannya tahun 2016 saat saya dan teman-teman tengah menikmati snack pagi di meja makan hotel, tempat International Conference on Robotics and Automation (ICRA) 2016 diselenggarakan di Stockholm, Swedia. Obrolan kami seketika terhenti saat ia masuk ke ruang makan. Semua mata pun seperti tertuju pada sosoknya, yang berjalan santai ke arah meja makan, terlihat abai pada perhatian orang-orang di sekelilingnya. Hugh Herr namanya, seorang profesor robotika dari MIT. Tapi, bukan gelar itu yang membuat kami semua tertegun, melainkan sepasang kaki prosthetic yang menyangga badan kurusnya, membantunya berjalan layaknya sepasang kaki betulan.

Hugh Herr muda adalah seorang pendaki yang handal. Tapi, saat ia mengalami kecelakaan pada suatu pendakian yang merenggut kedua kakinya, banyak yang mengira bahwa ia tak akan pernah memanjat tebing kembali. Saat itulah hidupnya berubah, ketika disabilitas memaksanya untuk meninggalkan hobi yang sangat ia gemari itu. Tapi, keterbatasan itu justru membuatnya mendapatkan sebentuk semangat baru yang tak terpikirkan sebelumnya: membuat kaki prosthetic yang akan membantunya memanjat tebing kembali. Semangat inilah yang kemudian membawa Hugh Herr meraih gelar master di MIT dan doktor di Harvard, hingga akhirnya kini menjadi kepala Biomechatronic Research Group di MIT Media Lab. Usai riset panjang bertahun-tahun lamanya, ia bukan hanya bisa membuat dirinya kembali ke dunia panjat tebing saja, tapi juga membantu orang-orang senasib untuk menanggulangi kekurangan fisiknya dengan berbagai instrumen wearable robotics yang dikembangkannya .

Pengalaman yang dialami beliau ini hanya satu di antara berbagai perjuangan para roboticist dari berbagai penjuru dunia untuk berbagi manfaat dengan sesama. Pengalaman kehilangan sahabat dalam kecelakaan lalu lintas mendorong Sebastian Thrun mengembangkan mobil tanpa supir. Jatuhnya korban bencana yang diakibatkan lambatnya respon pasca bencana membuat Robin Murphy mengembangkan berbagai robot yang mampu membantu mitigasi pasca bencana. Bagaimana dengan Indonesia? Meski masih belum sempurna, teknologi robotika di Indonesia juga mulai berkembang dan diaplikasikan di berbagai sektor, seperti militer, maritim, hingga perikanan. Bahwa proses yang dibutuhkan ke arah kebermanfaatan itu masih panjang dan tidak mudah, itu memang betul. Tetapi, segala sesuatu memang butuh proses,bukan?

Selama konferensi yang berlangsung selama 5 hari itu, saya bertemu banyak peneliti robotika top yang sudah sejak lama ingin saya temui, seperti Peter Corke, Dieter Fox, hingga Seth Hutchinson. Tapi, pertemuan dengan Prof Hugh Herr adalah salah satu yang paling berkesan. Perjuangan beliau benar-benar menjelaskan dengan gamblang betapa ilmu robotika membawa manfaat yang sangat besar untuk dunia, juga betapa para roboticist itu bukan hanya berjuang untuk diri mereka sendiri, tapi juga untuk menebar manfaat buat sesama, sebuah proses yang amat tidak mudah. Saya pun jadi teringat pada petuah almarhum KH Sahal Mahfudh, bahwa “Menjadi baik itu mudah, dengan hanya diam maka yang tampak adalah kebaikan. Yang sulit adalah menjadi bermanfaat, karena itu butuh perjuangan”. Salam hormat saya buat para roboticist di belahan bumi mana pun yang bekerja sedemikian keras untuk menjadi bermanfaat dengan ilmunya.

Terakhir, mengutip ucapan Profesor Rafaello D’Andrea, pakar robot terbang saat menerima penghargaan 2016 IEEE Robotics and Automation Award di penutupan ICRA, mungkin pertanyaan yang lebih tepat bukanlah “why would you study robotics?”, tapi why wouldn’t?”

Leave a comment